Islam dan Demokrasi: Perspektif Wilayah Al-Faqih
Produk
|
Judul: Islam dan Demokrasi: Perspektif Wilayah Al-Faqih
Harga 75rb diskon jd 60.000
Penulis: Muhammad Anis Tebal: 306 halaman Info dan pemesanan di 085324521168
Tulisan ini merupakan resensi buku yang berjudul “Islam dan Demokrasi, Perspektif Wilaya Al-Faqih”, karya Muhammad Anis, yang diterbitkan oleh Mizan. Pada sampul belakang buku ini dituliskan bahwa “Politik Syiah yang berlangsung di Republik Islam Iran dapat bersesuaian dengan demokrasi. Iran adalah republik yang pertama kali berhasil memadukan lembaga-lembaga politik modern dengan konsep negara agama yang dikenal dengan sebutan Wilayah Al-Faqih (kepemimpinan seorang faqih).”
Revolusi Islam di Iran tahun 1979 berhasil menggulingkan penguasa diktator Syah Reza Pahlevi, dan kemudian membangun sistem negara Islam dalam bentuk republik, menggantikan sistem kerajaan yang dianut sebelumnya. Ada sebagian orang yang memandang fenomena Iran ini dengan tatapan kagum dan optimis. Namun ada pula yang memandang dengan tatapan sinis dan pesimis. Kelompok kedua mungkin dapat diwakili oleh Bernard Lewis, yang mengatakan bahwa konsep wilayah al-faqih yang menyatukan agama dan negara, tidak berbeda dengan lembaga kepausan , yang telah menjadi penyakit Kristen di masa lalu. Begitu pula, Ali Gheissari dan Vali Nasr, juga menyebut bahwa meskipun lahir dar revolusi sosial bangunan teokratik Republik Islam Iran telah menciptakan rezim otoriter pragmatis.
Bagi Ali Syariati, negara seharusnya menganut sistem politik demokrasi terkendali, yang selaras dengan ideologi Islam revolusioner. Sementara itu menurut Taliqani dan Bazargan, solusi negara terletak pada demokrasi konstitusional, yang pernah dianut pasca Revolusi Konstitusi 1906, ketika ulama hanya berfungsi sebagai pengawas legislasi. Sementara itu Ayatullah Khomeini menganut konsep demokrasi agama, yang kemudian dikenal sebagai konsep Wilayah Al-Faqih (kepemimpinan faqih), yang akhirnya menjadi basis utama sistem demokrasi di Iran.
Sistem politik Syiah menganut konsep Imamah. Konsep ini menegaskan bahwa kepemimpinan umat adalah urusan Tuhan. Syiah berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW telah menetapkan pengganti kepemimpinannya setelah beliau wafat. Mereka berdalil pada beberapa hadits, di antaranya adalah hadits Al-Ghadir, yang berisi pernyataan lugas Nabi Muhammad SAW bahwa Ali bin Abi Thalib adalah penerus kepemimpinannya.
Konsep Wilayah Al-Faqih pada dasarnya adalah kelanjutan dari konsep Imamah Syiah. Selain itu, konsep ini identik dengan pemikiran Khomeini. Untuk mengenal konsep ini, kita harus menelaah pemikiran politiknya, yang bisa dikatakan sebagai hasil fusi dari teologi politik, filsafat politik dan fiqih politik. Sejak awal, Khomeini selalu menekankan bahwa agama tidak terpisah dari politik dengan segenap dimensinya. Menurutnya, pemisahan agama dari politik serta tuntutan agar ulama tidak turut campur dalam urusan sosial-politik merupakan slogan yang dipropagandakan oleh para imperialis, yang dengannya mereka dapat mendominasi dan menjarah semua sumber daya masyarakat. Ia juga menambahkan bahwa segala bentuk ibadah yang dipraktikkan dalam Islam selalu berkaitan dengan politik dan penyiapan masyarakat.
Dalam pandangan Khomeini, politik Islam adalah politik yang tujuannya adalah Allah SWT, atau kesempurnaan insan. Dengan politik ini, manusia akan memperoleh segala kebaikan sejati, baik secara maknawi maupun materi. Berdasarkan hal tersebut, Khomeini berpendapat bahwa pemerintahan Islam hanya dapat dipimpin oleh seorang faqih, yaitu orang yang memahami Islam secara mendalam, termasuk di dalamnya hukum-hukum syariat.
Secara praktis, Republik Islam Iran sebenarnya telah menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, khususnya yang terkait dengan kebebasan politik (adanya kontestasi/kompetisi dan partisipasi dalam pemilu) dan kebebasan sipil (yang meliputi kebebasan intelektual, perlindungan hak minoritas, pemberdayaan wanita, dan kebijakan luar negeri). Terlepas dari kritik-kritik yang ada, Republik Islam Iran tampaknya berhasil menawarkan sebuah konsep pemerintahan alternatif dalam peta politik dunia. Keunikannya terletak pada metodenya yang mengkombinasikan bukan hanya agama dan negara, melainkan juga teokrasi dan demokrasi.
Perbedaan mendasar antara demokrasi agama dengan demokrasi barat adalah terletak pada prinsip legislasi. Demokrasi barat berkeyakinan bahwa undang-undang harus dibuat oleh manusia. Sementara itu, dalam demokrasi agama undang-undang harus berasal dari Tuhan, melalui utusan-Nya, sehingga setiap undang-undang yang dihasilkan harus berada dalam koridor hukum Ilahi.
Perbedaan lainnya terletak pada tujuan. Demokrasi barat yang berkarakter materialistik memiliki tujuan-tujuan yang terbatas pada dimensi lahhiriah manusia, seperti kesejahteraan dan kemakmuran. Sementara itu, demokrasi agama lebih menekankan dimensi mental dan spiritual manusia, sehingga politik dalam demokrasi agama bermakna upaya untuk menghidayahi manusia menuju Allah. Terkait hal itu, Murthadha Mutahhari berargumen, “Upaya untuk membenturkan konsepsi Islam dengan demokrasi merupakan tindakan yang keliru. Konsepsi demokrasi hanya berkutat pada hak-hak manusia dalam urusan kesejahteraa material, seperti sandang, pangan dan papan. Padahal lebih dari itu, manusia membutuhkan sebuah sistem yang akan mengantarkannya menuju kebahagiaan dan kesejahteraan maknawi dan nilai puncak kemanusiaan.”
Perbedaan Konsep Politik Syiah dengan Sunni
Berbeda dengan sistem politik Syiah yang menganut konsep Imamah, sistem politik Sunni menganut konsep Khilafah-Syura. Jika Syiah berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW telah menetapkan pengganti kepemimpinannya setelah beliau wafat, maka sistem Sunni menekankan bahwa Nabi Muhammad SAW menyerahkan urusan kepemimpinan umat kepada umat itu sendiri. Meskipun berperan sebagai pemimpin pemerintahan yang ditunjuk langsung oleh Allah, Nabi Muhammad SAW tidak menetapkan penggantinya setelah beliau wafat. Umumnya dalil yang digunakan adalah hadits yang berbunyi, “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”
Setelah Nabi SAW wafat, sebagian kaum muslim mengadakan pertemuan di Saqifah Bani Saidah dalam rangka menetapkan kepemimpinan pasca Nabi SAW. Setelah melalui perdebatan yang cukup sengit, akhirnya Abu Bakar terpilih terpilih sebagai khalifah. Peristiwa Saqifah ini merupakan momentum awal munculnya konsep Khilafah-Syura. Namun konsep ini tidak diberlakukan saat pergantian kekhalifahan selanjutnya, ketika Abu Bakar menunjuk langsung Umar bin Khattab sebagai penggantinya. Sistem syura kemudian diberlakukan kembali oleh Umar dengan membentuk dewan formatur (majlis syura) untuk memilih kepemimpinan selanjutnya, yang berujung pada terpilihnya Utsman bin Affan sebagai khalifah.
Note: tulisan ini bukan bertujuan untuk mempromosikan konsep politik Syiah, melainkan lebih merupakan studi kritis atas konsep politik Wilayah Al-Faqih yang diterapkan di negara Islam Iran. Tak dapat dipungkiri, bahwa Iran merupakan contoh negara yang berhasil memadukan konsep demokrasi dan teokrasi, yang mampu membimbing stabilitas politik di Iran setelah terbentuknya pemerintahan pasca revolusi tahun 1979 hingga kini. Untuk menelaah lebih detail terkait penerapan konsep Wilayah Al-Faqih dalam sistem politik di Iran, silakan membaca langsung buku ini. Pada tulisan selanjutnya, saya akan mencoba menuliskan konsep-konsep yang berkembang di kalangan intelektual muslim Sunni terkait konsep politik dalam Islam.
|